Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2025

Apa Jadinya Jika Seorang Guru Enggan untuk Membersamai Anak Didiknya?

Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing, pendamping, dan teladan dalam perjalanan tumbuh kembang peserta didik. Namun, bagaimana jika seorang guru enggan untuk membersamai anak didiknya—baik secara emosional, sosial, maupun akademik? Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh siswa, tapi juga terhadap kualitas pendidikan secara keseluruhan. 1. Hilangnya Koneksi Emosional antara Guru dan Murid Menurut Dr. Linda Darling-Hammond (pakar pendidikan dari Stanford University), “Hubungan emosional yang kuat antara guru dan murid adalah fondasi bagi pembelajaran yang efektif. Ketika guru hadir secara emosional, murid merasa aman untuk mengeksplorasi dan gagal.” Sebaliknya, guru yang enggan membersamai akan menciptakan jarak psikologis. Anak merasa tidak dimengerti, tidak dihargai, dan pada akhirnya kehilangan motivasi belajar. Ini diperkuat oleh John Hattie (peneliti pendidikan dari Selandia Baru) dalam studinya “Visible Learning”, yang menunjukkan bahwa hubungan guru-murid berpengaruh besa...

Fenomena Pengetahuan Dangkal di Era Informasi

Antara Tahu dan Memahami:  Pendahuluan Kita hidup di zaman kecepatan informasi. Hanya dengan mengetik beberapa kata kunci, kita bisa “tahu” banyak hal: dari sains, filsafat, politik, hingga psikologi. Namun, pertanyaannya—apakah kita benar-benar tahu? Atau kita hanya merasa tahu? Fenomena di mana seseorang merasa tahu sesuatu hanya karena pernah mendengar, membaca, atau melihatnya sekilas disebut dengan banyak istilah: illusory knowledge, knowledge illusion, atau pengetahuan palsu. Fenomena ini menjadi tantangan besar di dunia pendidikan, komunikasi, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan Dangkal: Antara Ilusi dan Fakta Profesor Steven Sloman dan Philip Fernbach, dalam buku mereka "The Knowledge Illusion: Why We Never Think Alone", mengungkap bahwa manusia sering berilusi memiliki pengetahuan. Padahal, yang dimiliki hanyalah potongan-potongan informasi yang belum saling terhubung. Sloman menyebut, "Kita berpikir kita tahu lebih banyak daripada yang kita tahu....

Mengapa Ada Guru yang Suka Membully Siswanya?

Mengapa Ada Guru yang Suka Membully Siswanya? Guru adalah sosok pendidik yang seharusnya menjadi teladan, pelindung, dan pendamping tumbuh kembang siswa. Namun, dalam realitas dunia pendidikan, tidak sedikit kasus ditemukan di mana guru justru menjadi pelaku perundungan terhadap muridnya. Tindakan ini bisa berupa ejekan, hinaan, intimidasi, ancaman, diskriminasi, bahkan kekerasan verbal maupun fisik. Mengapa hal ini bisa terjadi? 1. Masalah Pribadi dan Emosi yang Tidak Terkelola Beberapa guru membawa beban stres yang tidak terselesaikan dari kehidupan pribadi atau tekanan pekerjaan. Kurangnya pelatihan dalam mengelola emosi membuat mereka melampiaskan frustrasi kepada siswa. Dalam kondisi ini, siswa menjadi pelampiasan amarah yang tidak pada tempatnya. 2. Pengaruh Pola Asuh dan Latar Belakang Ada guru yang pernah mengalami kekerasan atau perundungan saat kecil dan tanpa sadar mereproduksi pola tersebut dalam pengajarannya. Mereka menganggap bentuk kekerasan verbal atau fisik adalah car...

Aset atau kepepet?

Orang dengan Banyak Skill di Tempat Kerja: Aset atau Sering Dimanfaatkan? Di dunia kerja modern, kemampuan multiskill atau multitalented sering dianggap sebagai keunggulan kompetitif. Namun, tidak jarang individu dengan beragam keterampilan justru merasa dimanfaatkan oleh lingkungan kerja mereka. Mereka diminta menyelesaikan banyak pekerjaan di luar tugas pokok tanpa kompensasi atau pengakuan yang memadai. Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah orang dengan banyak skill benar-benar dianggap sebagai aset, atau justru dijadikan alat? Fenomena di Lapangan: Beban Kerja Tanpa Batas Orang yang mampu mengerjakan desain grafis, menulis laporan, membuat presentasi, hingga memimpin tim—dalam satu tubuh—sering kali menjadi "andalan" perusahaan. Mereka dianggap serba bisa dan akhirnya diberi tanggung jawab di luar job description awal. Menurut survei dari Harvard Business Review (2022), 57% karyawan dengan kemampuan multiskill merasa beban kerja mereka lebih berat daripada reka...

Ketika Paket Internet Menggeser Bakti Anak pada Orang Tua

Ketika Paket Internet Menggeser Bakti Anak pada Orang Tua Di era digital saat ini, akses internet telah menjadi kebutuhan harian, tidak hanya bagi orang dewasa tetapi juga anak-anak. Dengan bermodalkan paket data, anak-anak kini bisa mengakses dunia tanpa batas—media sosial, game online, video hiburan, hingga aplikasi komunikasi. Namun, kemudahan ini tak selalu membawa manfaat. Dalam banyak kasus, kecanduan internet justru membuat anak-anak teralienasi dari nilai-nilai dasar kehidupan, termasuk berbakti kepada orang tua. 1. Menurunnya Interaksi Keluarga Kecanduan internet menyebabkan anak lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar daripada berbincang atau membantu orang tua di rumah. Mereka enggan membantu pekerjaan rumah, malas menemani orang tua, bahkan enggan menyapa. Interaksi sederhana seperti makan bersama pun menjadi jarang karena anak lebih fokus pada gadget-nya. 2. Krisis Empati dan Kepedulian Paparan dunia maya yang individualistik seringkali menumpulkan empati. Anak-anak...