Fenomena Pengetahuan Dangkal di Era Informasi
Antara Tahu dan Memahami:
Pendahuluan
Kita hidup di zaman kecepatan informasi. Hanya dengan mengetik beberapa kata kunci, kita bisa “tahu” banyak hal: dari sains, filsafat, politik, hingga psikologi. Namun, pertanyaannya—apakah kita benar-benar tahu? Atau kita hanya merasa tahu?
Fenomena di mana seseorang merasa tahu sesuatu hanya karena pernah mendengar, membaca, atau melihatnya sekilas disebut dengan banyak istilah: illusory knowledge, knowledge illusion, atau pengetahuan palsu. Fenomena ini menjadi tantangan besar di dunia pendidikan, komunikasi, bahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengetahuan Dangkal: Antara Ilusi dan Fakta
Profesor Steven Sloman dan Philip Fernbach, dalam buku mereka "The Knowledge Illusion: Why We Never Think Alone", mengungkap bahwa manusia sering berilusi memiliki pengetahuan. Padahal, yang dimiliki hanyalah potongan-potongan informasi yang belum saling terhubung. Sloman menyebut, "Kita berpikir kita tahu lebih banyak daripada yang kita tahu."
Contohnya, banyak orang merasa tahu bagaimana toilet bekerja, tetapi jika diminta menjelaskan secara mekanis, mereka kesulitan. Hal serupa terjadi pada konsep ekonomi, politik, atau sains yang hanya diketahui di permukaan.
Pandangan Para Ahli Dalam Negeri
Di Indonesia, fenomena ini juga menjadi sorotan. Prof. Dr. Armai Arief, pakar pendidikan dari UIN Syarif Hidayatullah, menekankan bahwa pendidikan kita sering terjebak pada hafalan, bukan pemahaman. Ia mengatakan,
> “Banyak siswa bisa menjawab soal, tapi tidak bisa menjelaskan makna jawaban itu. Itu karena kita lebih menekankan tahu, bukan paham.”
Senada, Dr. Munif Chatib, penulis buku “Sekolahnya Manusia”, menyebut bahwa kurikulum sering terlalu padat, tapi miskin makna. Anak-anak dijejali fakta, tanpa pernah diajak berpikir kritis dan memahami secara kontekstual.
Kenapa Kita Terjebak? Penjelasan Psikologi
Psikolog peraih Nobel, Daniel Kahneman, dalam bukunya “Thinking, Fast and Slow”, membagi cara berpikir manusia ke dalam dua sistem:
System 1: cepat, intuitif, otomatis.
System 2: lambat, analitis, reflektif.
Kebanyakan orang mengandalkan System 1 karena lebih hemat energi. Akibatnya, mereka mengambil kesimpulan cepat dan mengira sudah paham, padahal belum sempat berpikir kritis.
Fenomena ini diperparah oleh media sosial dan internet. Dalam sekejap, kita disuguhi ratusan informasi dan headline. Kita menyerapnya seperti “snack pengetahuan” tanpa mengunyahnya.
Dampak Pengetahuan Semu
1. Kesombongan intelektual – Orang merasa sudah pintar, sehingga enggan belajar lebih dalam.
2. Debat tanpa substansi – Banyak diskusi publik hanya mengulang slogan, bukan gagasan.
3. Kesalahan keputusan – Karena merasa tahu, orang cepat mengambil tindakan yang keliru.
4. Gagal berpikir kritis – Jika tidak dilatih menyelami konsep, seseorang mudah termakan hoaks.
Solusi: Dari Tahu Menuju Paham
1. Refleksi Diri
Bertanyalah: “Apa yang sebenarnya aku pahami tentang ini? Bisakah aku menjelaskannya pada orang lain tanpa membaca ulang?”
2. Belajar Mendalam (Deep Learning)
Alih-alih mengejar banyak materi, fokuslah pada konsep inti dan aplikasinya. Seperti kata Albert Einstein:
> “Jika kamu tidak bisa menjelaskan sesuatu kepada anak 6 tahun, kamu belum benar-benar memahaminya.”
3. Diskusi Bermakna
Berdiskusi bukan untuk menang, tapi untuk memperdalam sudut pandang. Di sinilah pengetahuan diuji dan diperluas.
4. Peran Guru dan Kurikulum
Pendidikan harus bergeser dari input-based (berapa banyak tahu) ke output-based (seberapa dalam pemahaman dan penerapannya).
Penutup
Mengetahui sesuatu secara dangkal bukanlah hal memalukan—itu titik awal. Namun, berhenti pada rasa tahu semu tanpa upaya untuk memahami adalah bentuk kemalasan intelektual. Di dunia yang makin kompleks, hanya mereka yang benar-benar memahami yang bisa membuat perbedaan.
Seperti kata filsuf Socrates:
> “Saya tahu bahwa saya tidak tahu.”
Kalimat itu bukan bentuk kebodohan, melainkan kesadaran akan pentingnya belajar terus-menerus.
Komentar
Posting Komentar
Jangan lupa kasih komentarnya yah ... ! masukan dan kritikan sangat kami harapkan ... !