Aset atau kepepet?
Orang dengan Banyak Skill di Tempat Kerja: Aset atau Sering Dimanfaatkan?
Di dunia kerja modern, kemampuan multiskill atau multitalented sering dianggap sebagai keunggulan kompetitif. Namun, tidak jarang individu dengan beragam keterampilan justru merasa dimanfaatkan oleh lingkungan kerja mereka. Mereka diminta menyelesaikan banyak pekerjaan di luar tugas pokok tanpa kompensasi atau pengakuan yang memadai. Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah orang dengan banyak skill benar-benar dianggap sebagai aset, atau justru dijadikan alat?
Fenomena di Lapangan: Beban Kerja Tanpa Batas
Orang yang mampu mengerjakan desain grafis, menulis laporan, membuat presentasi, hingga memimpin tim—dalam satu tubuh—sering kali menjadi "andalan" perusahaan. Mereka dianggap serba bisa dan akhirnya diberi tanggung jawab di luar job description awal.
Menurut survei dari Harvard Business Review (2022), 57% karyawan dengan kemampuan multiskill merasa beban kerja mereka lebih berat daripada rekan lain, namun hanya 23% yang merasa diberi kompensasi setimpal.
Di Indonesia, hal ini juga menjadi perhatian. Psikolog industri dan organisasi dari Universitas Indonesia, Dr. Dian Wisnu, M.Psi., mengatakan:
“Orang dengan banyak skill sering kali mengalami role overload. Ketika manajemen melihat seseorang bisa banyak hal, mereka cenderung memberikan lebih banyak pekerjaan, meskipun tidak sesuai dengan perannya. Ini bisa menimbulkan stres kerja, demotivasi, dan akhirnya burnout.”
Pendapat Para Ahli Internasional
Dr. Tomas Chamorro-Premuzic, profesor psikologi bisnis di University College London dan chief innovation officer di ManpowerGroup, mengungkapkan dalam bukunya Why Do So Many Incompetent Men Become Leaders? bahwa:
“Multiskilled individuals are often trapped in the ‘competence paradox’—the more they can do, the more they are asked to do, without being promoted or rewarded.”
Artinya, orang yang kompeten sering terjebak dalam paradoks di mana mereka diminta melakukan lebih banyak tugas, tetapi tidak mendapatkan penghargaan yang sepadan.
Sementara itu, Liz Ryan, CEO Human Workplace dan kolumnis Forbes, menyebut fenomena ini sebagai “skill exploitation” atau eksploitasi keterampilan. Ia menyarankan agar para pekerja multitalenta menetapkan batasan dan belajar berkata “tidak”:
“You teach people how to treat you. If you always say yes, they’ll keep piling more on your desk.”
Apa yang Bisa Dilakukan?
Agar tidak menjadi korban dari kelebihan kemampuan sendiri, para ahli menyarankan beberapa langkah:
-
Tetapkan Batasan Kerja yang Jelas
Komunikasikan secara terbuka mengenai tugas pokok dan tambahan. Hindari mengambil tanggung jawab tanpa kejelasan kompensasi atau waktu. -
Dokumentasikan Pekerjaan Tambahan
Catat semua pekerjaan di luar tanggung jawab awal. Ini bisa digunakan untuk bahan evaluasi kinerja atau negosiasi kenaikan gaji. -
Diskusikan Pengembangan Karier dengan Atasan
Jika perusahaan memanfaatkan berbagai skill yang Anda miliki, pastikan ada peta jalan (roadmap) pengembangan karier atau jenjang promosi. -
Berani Berkata “Tidak” dengan Bijak
Menolak tugas tambahan yang tidak realistis adalah bentuk profesionalisme. Jelaskan alasan dan tawarkan alternatif solusi. -
Jaga Kesehatan Mental dan Fisik
Jangan sampai kelebihan kerja membuat Anda sakit. Istirahat yang cukup dan memiliki waktu pribadi sangat penting.
Kesimpulan
Orang yang memiliki banyak keterampilan memang merupakan aset penting dalam dunia kerja. Namun, tanpa manajemen dan komunikasi yang baik, mereka rentan menjadi korban eksploitasi. Perusahaan seharusnya tidak hanya mengandalkan mereka tanpa penghargaan yang layak, dan individu juga perlu memiliki keberanian serta strategi dalam mengelola beban kerja.
Seperti yang dikatakan oleh Dr. Stephen Covey, penulis The 7 Habits of Highly Effective People:
“Don’t let your skills define your limits—let your principles define your boundaries.”
Komentar
Posting Komentar
Jangan lupa kasih komentarnya yah ... ! masukan dan kritikan sangat kami harapkan ... !