Sisa Cinta dari Ayah

Di bawah langit yang cerah, Amir duduk sendirian di bangku taman. Tangannya menggenggam sebuah buku tua yang sudah lusuh di pinggirannya. Buku itu adalah hadiah terakhir yang diberikan oleh ayahnya sebelum pria itu menghilang dari hidupnya, lima tahun yang lalu.


Amir tidak pernah melupakan hari itu. Hari ketika ayahnya, yang selama ini menjadi satu-satunya pelindung dan sahabat sejatinya, pergi tanpa pesan. Hanya kata-kata yang berulang di benaknya: "Ayah akan kembali, nak. Suatu saat nanti." Namun, waktu berlalu dan ayahnya tidak pernah kembali.


Saat itu, Amir masih berusia sembilan tahun. Dia ingat betul bagaimana ayahnya selalu mendongengkan cerita sebelum tidur, mengajaknya bermain bola di halaman rumah, dan menenangkan hatinya saat merasa takut akan kegelapan. Ayahnya adalah dunia bagi Amir, satu-satunya tempat di mana dia merasa aman dan dicintai. Namun, semua itu hancur ketika ayahnya pergi tanpa jejak.


Amir tumbuh menjadi remaja yang pendiam, menyembunyikan luka yang semakin dalam di hatinya. Di sekolah, dia selalu tersenyum kepada teman-temannya, tapi tak ada yang tahu betapa kosong rasanya hidupnya. Dia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang, bagian yang tak bisa diisi oleh siapapun. Ibu yang selalu mencoba menggantikan peran ayah, tetap tidak bisa mengisi kekosongan itu. Tidak ada yang bisa menggantikan sosok seorang ayah.


Setiap kali ada orang tua yang datang ke sekolah untuk bertemu dengan guru, Amir selalu merasa cemburu. Dia akan melihat anak-anak lain berjalan bersama ayah mereka, berbicara dan tertawa. Namun, dia hanya bisa menundukkan kepala, membiarkan perasaan itu tenggelam di dalam hatinya.


Namun, hari ini berbeda. Setelah lima tahun, Amir merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya. Entah mengapa, ia merasa seperti ayahnya ada di dekatnya. Ia membuka buku tua yang diberikan oleh ayahnya. Di dalamnya, ada tulisan tangan ayah yang mulai pudar oleh waktu:


"Amir, Nak. Ingatlah selalu, meskipun kita terpisah oleh waktu dan jarak, ayah akan selalu ada di hati kamu. Suatu hari nanti, kita akan bertemu lagi. Jangan pernah menyerah, nak. Kamu kuat, seperti ayah."


Air mata Amir mulai mengalir di pipinya. Dia menatap tulisan itu dengan penuh rasa rindu. Bagaimana bisa seseorang yang sangat ia cintai, yang selalu ada di sampingnya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak? Tidak ada penjelasan, tidak ada alasan. Hanya kepergian yang menyakitkan.


"Amir, kenapa di sini sendirian?" suara lembut ibu memecah lamunan Amir. Wanita itu duduk di sampingnya dan mengelus rambut Amir dengan penuh kasih sayang.


"Aku... cuma kangen," Amir menjawab, suaranya serak. "Kangen sama ayah."


Ibu tersenyum miris. "Aku tahu, nak. Ibu juga kangen. Tapi, kamu tahu, kan? Ayah pasti ingin kamu menjadi anak yang kuat. Ayah selalu bangga sama kamu."


Amir hanya terdiam. Ia tahu ibunya berusaha menenangkan dirinya, tapi rasa rindu itu terlalu dalam. Setiap kali mengingat ayahnya, ia merasa seperti ada yang hilang, seperti ada bagian dari dirinya yang tak pernah bisa lengkap tanpa kehadiran ayah.


"Mama..." Amir mulai berbicara dengan suara pelan, "Apa benar ayah akan kembali?"


Ibu menarik napas panjang dan menatap langit. "Ayah mencintaimu lebih dari apapun, Amir. Mungkin, ia tidak bisa kembali, tapi cintanya selalu ada di hati kita. Cinta itu tidak akan pernah hilang."


Amir mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa kosong. Cinta ayah memang tak pernah hilang, tetapi kehadirannya yang selalu ia rindukan, itu yang tak tergantikan.


Sejak hari itu, Amir mulai sering mengunjungi taman ini, tempat yang dulu sering mereka kunjungi bersama ayah. Di sini, ia merasa seperti ayahnya masih ada di dekatnya, meskipun hanya dalam kenangan. Buku tua itu selalu ia bawa, menjadi satu-satunya penghubung dengan masa lalu yang penuh kebahagiaan.


Pada suatu sore, saat Amir duduk di bangku taman, seorang anak kecil datang mendekatinya. Anak itu berlari-lari kecil, tampak ceria dengan wajah yang tak pernah lepas dari senyuman. Anak itu berhenti di hadapan Amir dan menatapnya dengan mata besar yang penuh rasa ingin tahu.


"Mas, ini buku punya siapa?" tanya anak itu sambil menunjuk buku yang ada di tangan Amir.


Amir tersenyum tipis dan menjawab, "Buku ini punya ayahku. Dulu, ayah selalu membacakan aku cerita dari buku ini."


Anak itu duduk di samping Amir, lalu berkata dengan polos, "Aku juga punya buku. Tapi bukuku dari mama. Mama suka cerita juga."


Amir menatap anak itu dengan haru. "Ayahku juga suka bercerita. Tapi sekarang, dia sudah tidak ada."


Anak kecil itu terdiam sejenak, lalu dengan penuh rasa empati, ia berkata, "Mungkin ayahmu lagi di surga, ya? Tapi ayahmu pasti sayang sama kamu, kan?"


Amir merasa ada yang menghangatkan hatinya. "Iya, mungkin. Terima kasih sudah bilang begitu."


Anak itu tersenyum dan berlari kembali ke ibunya yang sedang duduk di dekat taman. Amir menatap anak itu berjalan dengan ceria, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa sedikit lebih baik. Meskipun rasa rindu itu tak akan pernah hilang, ada perasaan bahwa ayahnya tidak benar-benar pergi. Cinta ayahnya masih ada di setiap sudut hatinya, di setiap kenangan yang tak bisa dilupakan.


Amir menatap langit yang mulai gelap. Seolah ada cahaya kecil yang menyinari hatinya, memberi harapan bahwa meskipun ayahnya telah tiada, cinta itu tetap akan hidup selamanya, dalam kenangan dan dalam dirinya.


Dan dengan itu, Amir berdiri dari bangku taman, membawa buku tua ayahnya, dan berjalan pulang. Sebuah langkah kecil menuju penyembuhan, sebuah langkah kecil untuk menerima bahwa meskipun ayahnya tidak bisa kembali, cinta dan kenangan akan selalu ada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH WAWANCARA GURU DAN SISWA

Contoh Rencana Kegiatan Sekolah (RKS)

skripsi Tesi Triani, S.Pd metode SQRQCQ