Beda apresiasi dgn sombong dalam bekerja
Mengapresiasi Karya Murid vs Sikap Sombong / Suka Pamer — Bedanya & Pendapat Ahli
Mengapresiasi karya murid dan bersikap sombong atau suka pamer tampak serupa dari luar (keduanya menunjukkan perhatian terhadap prestasi), tetapi secara psikologis, sosial, dan pendidikan keduanya punya efek yang sangat berbeda. Artikel singkat ini menjelaskan perbedaan utama, bahaya pujian yang keliru, dan rekomendasi praktis—dilengkapi pendapat ahli dari dalam dan luar negeri.
1. Inti perbedaan: tujuan dan dampak
- Mengapresiasi karya murid adalah upaya menilai dan memberi umpan balik yang membangun—memperkuat proses belajar, menegaskan usaha, dan mendorong rasa ingin tahu serta perkembangan kemampuan. Apresiasi menempatkan fokus pada proses, strategi, dan perkembangan.
- Sikap sombong / suka pamer (showing off) adalah perilaku yang bertujuan menonjolkan diri untuk memperoleh status atau pengakuan, seringkali tanpa mengakui proses atau kontribusi orang lain; ini dapat menimbulkan kompetisi tidak sehat, iri, atau jarak sosial di antara siswa.
Singkatnya: apresiasi memperkuat pembelajaran; pamer memperkuat citra diri—kadang dengan mengorbankan hubungan dan motivasi belajar orang lain.
2. Bagaimana pujian/apresiasi bisa jadi baik atau buruk
Penelitian psikologi pendidikan menunjukkan bahwa jenis pujian menentukan efeknya. Pujian yang menekankan usaha dan strategi (process praise) mendorong ketekunan dan mindset berkembang (growth mindset). Sebaliknya, pujian yang menekankan bakat atau kecerdasan bawaan (person praise) dapat membuat anak fokus pada penampilan kompetensi dan takut gagal. Studi klasik oleh Carol Dweck dan kolega menemukan anak-anak yang dipuji untuk kecerdasan cenderung memilih tugas aman dan menghindari tantangan dibanding yang dipuji atas usaha.
Alfie Kohn, penulis pendidikan, berargumen pula bahwa pujian yang terlalu ringan atau sering malah membuat anak tergantung pada pengakuan eksternal, sehingga mereka tidak belajar menilai kualitas karya sendiri. Kohn menyarankan agar guru berhati-hati dengan "good job" yang otomatis.
Penelitian lain menyoroti bahaya pujian berlebihan (inflated praise): ketika pujian tidak sesuai realitas, anak-anak dengan harga diri rendah justru merasa tertekan untuk mempertahankan ekspektasi tinggi itu dan cenderung menghindari tantangan.
(Di konteks Indonesia, banyak psikolog pendidikan juga menekankan agar pujian bersifat spesifik dan menanyakan proses—mis. “Bagian mana yang kamu kerjakan sampai seperti ini?”—daripada pujian umum.)
3. Ciri-ciri apresiasi yang sehat vs. tanda-tanda pamer/sombong
Apresiasi sehat
- Spesifik: menyebut aspek tertentu (mis. “Warna yang kamu pilih membuat komposisi lebih seimbang.”).
- Berfokus pada proses: memuji usaha, teknik, atau strategi.
- Memotivasi: mendorong eksplorasi lebih lanjut, menerima kesalahan sebagai bagian belajar.
- Mengajarkan refleksi: mendorong murid menilai sendiri karya dan menentukan langkah perbaikan.
Sombong / pamer
- Umum/vague: pujian atau klaim yang lebih untuk menunjukkan prestise, bukan mengedukasi.
- Menonjolkan hasil tanpa menyebut proses (contoh: "Aku juara, lihat aku!")—bisa membuat teman merasa kurang dihargai.
- Mencari pengakuan terus-menerus; bergantung pada reaksi audiens.
- Bisa menimbulkan sikap meremehkan kontribusi orang lain.
4. Dampak jangka panjang pada murid dan iklim kelas
- Apresiasi yang tepat membangun motivasi intrinsik, ketahanan menghadapi kegagalan, dan kultur kelas yang suportif.
- Pujian tak tepat atau kultur pamer dapat menghasilkan sikap kompetitif berlebihan, ketergantungan pada pujian, atau munculnya rasa iri dan konflik sosial di kelas.
5. Rekomendasi praktis untuk guru & orang tua
- Pilih pujian proses, bukan label. Contoh: “Kamu telaten merapikan tulisanmu—lihat perbedaannya!” daripada “Kamu pintar!”
- Jadilah spesifik dan deskriptif. Jelaskan kenapa sesuatu bagus; tunjukkan aspek konkret yang bisa dikembangkan.
- Ajarkan refleksi diri. Tanyakan pada murid, “Bagian mana yang paling membuatmu bangga? Apa yang ingin kamu coba lain kali?”
- Hindari pujian berlebihan/inflated praise. Pujian yang tidak realistis membuat ekspektasi tidak sehat.
- Modelkan kerendahan hati. Guru bisa mencontohkan bagaimana menerima kritik dan menunjukkan proses revisi—ini menekan budaya pamer dan menumbuhkan budaya belajar.
- Rayakan usaha kelompok. Selain individu, beri apresiasi pada kolaborasi agar nilai kompetisi berkurang.
6. Kutipan singkat pendapat ahli (ringkasan)
- Carol Dweck (Stanford): Pujian yang menekankan usaha mendorong growth mindset; pujian kemampuan/bakat cenderung menimbulkan ketakutan gagal.
- Alfie Kohn (pendidik/penulis): Pujian otomatis berisiko menciptakan ketergantungan pada validasi eksternal; guru perlu berhati-hati.
- Penelitian tentang inflated praise (E. Brummelman cs / liputan New Yorker): Pujian berlebihan bisa merugikan anak dengan harga diri rendah karena ekspektasi yang tidak realistis.
- Psikolog & praktisi di Indonesia: Banyak panduan parenting/pendidikan lokal menekankan memberi pujian yang mendeskripsikan proses, meminta refleksi anak, dan menghindari pujian generik.
Penutup — Intinya untuk guru
Mengapresiasi karya murid itu penting—tetapi cara mengapresiasi menentukan apakah itu akan menumbuhkan pembelajar yang tahan banting dan ingin mencoba, atau justru memupuk ketergantungan pada pengakuan dan potensi pamer/sombong. Jadikan pujian alat untuk mengajar (menjelaskan proses, memberi contoh perbaikan), bukan sekadar cara memuji hasil atau menaikkan status.
Komentar
Posting Komentar
Jangan lupa kasih komentarnya yah ... ! masukan dan kritikan sangat kami harapkan ... !